10 April 2012

GLOBALISASI KESEHATAN MENGHEMPAS INDONESIA (Pelayanan Rumah Sakit Tidak Terjangkau Masyarakat Miskin)

Erik Aditia Ismaya
09/298359/PSP/3583
Pascasarjana Sosiologi


Sebuah Pengantar
Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia paling hakiki. Kesehatan adalah salah satu hak dasar hidup yang sudah semestinya dipenuhi, negara harus menjamin akses kesehatan semua rakyatnya tanpa kecuali. Di Indonesia, pemerintah telah menjamin akses kesehatan rakyatnya dengan dasar UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Sedangkan tugas dan tanggungjawab Pemerintah diantaranya diamanatkan dalam pasal 19: “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau”.
Kesehatan yang menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan bangsa, menjadi perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dari tahun ke tahun berbagai program dan kebijakan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa di tingkat dunia terus dilaksanakan pemerintah demi mengejar ketertinggalan dari masyarakat dunia pada umumnya. Berbagai program dan kebijakan tersebut antara lain: Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Program Keluarga Berencana, Program Asuransi Kesehatan Miskin, L-I-L, Posyandu,  dll. Program dan kebijakan ini tentunya dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang mulia bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang masih dalam taraf masyarakat berkembang dan membangun menuju masyarakat yang adil, makmur, sehat dan sejahtera sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945, sehingga rakyat dan bangsa Indonesia berada pada posisi sejajar dan mampu bersaing dengan masyarakat dunia pada umumnya.
Pada tahun 1999, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 103 dari 191 negara (WHO, 2000; UNDP, 2004) dan turun menjadi peringkat ke112 pada tahun 2004. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh tiga indikator yaitu: pertama, indikator kesehatan yang diukur dari umur harapan hidup (UHH), angka kesakitan serta angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi dan anak bawah lima tahun (AKB); kedua, indikator kesehatan yang diukur dari angka melek huruf dan tingkat kesehatan serta ketiga adalah indikator ekonomi yang diukur dari pendapatan perkapita. Walaupun telah terjadi penurunan AKI dan AKB serta peningkatan UHH namun Indonesia masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tingkat kesehatan masyarakat diperburuk oleh adanya krisis multidimensi; khusus dalam bidang kesehatan antara lain terjadi transisi epidemiologis yang menyebabkan Indonesia mengalami “beban ganda penyakit” atau double burden of diseases, yaitu saat masalah penyakit infeksi belum hilang, sudah muncul masalah penyakit degeneratif misalnya penyakit jantung yang memerlukan biaya besar, sementara dipihak lain, pembiayaan kesehatan masih tetap merupakan masalah yang belum terselesaikan (Djuhaeni 2004:1).
Realitas diatas menunjukkan kepada kita betapa ironisnya kondisi rakyat dan bangsa Indonesia saat ini. Berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan pemerintah untuk membangun dan meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya ternyata masih jauh dari harapan. Oleh karena itu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah salah satu langkah penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di sektor kesehatan. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama berbagai pihak terkait, tidak hanya pemerintah, masyarakat secara sadar harus melibatkan diri secara aktif, sehingga terdapat sinergi yang baik bagi upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Di era globalisasi kesehatan saat ini, dengan alasan peningkatan mutu pelayanan kepada para pasien atau konsumen, sektor kesehatan melalui rumah sakit memang telah menunjukkan sebuah revolusi besar dalam hal mutu pelayanan, namun semua bentuk peningkatan mutu pelayanan itu ada harga yang harus dibayar oleh pasien atau konsumen. Sehingga disini mulai diadakan perhitungan untung-rugi, saat ini di Indonesia telah banyak bermunculan rumah sakit-rumah sakit bertaraf internasional sebagai jawaban atas tuntutan peningkatan mutu layanan, namun apakah rumah sakit itu benar-benar rumah sakit internasional dengan prosedur pelayanan dan mutu internasional atau hanya berlabel internasional dengan standar pelayanan dan mutu yang rendah.
Globalisasi Kesehatan menjadikan dunia kesehatan yang selama ini sarat dengan aspek humanitarian sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia (SDM), ternyata telah mengalami distorsi dan menjadi elemen pokok komoditas ekonomi yang menggiurkan. Rumah sakit  sebagai penyedia dan pelayan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta yang seharusnya mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata mulai mengadopsi faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah neoliberalisme sektor kesehatan, sehingga terjadi disorientasi pemahaman substansi makna kesehatan. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik.
Melihat realitas yang ada bahwa saat ini dunia kesehatan sudah mulai meninggalkan aspek kemanusiaan dan sosial, cenderung mengejar keuntungan serta semakin sulit dijangkau oleh rakyat kecil, saya melalui tulisan ini akan menyampaikan bagaimana mekanisme globalisasi kesehatan, bagaimana rumah sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa kesehatan menjadi barang yang mahal dan tidak terjangkau, bagaimana tindakan pemerintah dalam menghadapi tantangan globalisasi kesehatan.

23 November 2011

IRONI PROGRAM MOBIL NASIONAL DAN PERLAWANAN KAPITALISME GLOBAL TERHADAP INDUSTRI OTOMOTIF DI INDONESIA


Erik Aditia Ismaya 

Pendahuluan 
Indonesia sebagai negara berkembang mempunyai semangat yang kuat untuk dapat bersaing dengan negara-negara maju. Dalam kurun waktu 1990an, posisi Indonesia didunia mulai diperhitungkan. Perkembangan ekonomi yang melesat, stabilitas politik dan pertahanan-keamanan negara yang kondusif membuat iklim ekonomi dan industri meningkat dengan cepat. 
Indonesia yang waktu itu memasuki PJPT II, terbukti mampu memposisikan diri sebagai negara yang siap memasuki tahap industri dan menuju masyarakat industri yang maju. Pemerintah membuka kran yang lebar bagi pertumbuhan industri dan ekonomi melalui pembangunan pabrik-pabrik dan penanaman modal asing. Dan pada waktu itu pula, Indonesia telah berani memutuskan untuk memproduksi mobil nasional melalui Program Mobil Nasional (Timor), yang kemudian disusul dengan pembangunan pabrik pesawat terbang (IPTN) dibawah Arsitek BJ. Habibie, ini adalah langkah seribu yang dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya menjadi negara industri yang maju menuju masyarakat yang sejahtera. 
Langkah yang diambil pemerintah untuk memproduksi mobil nasional ini terhitung sebagai langkah yang berani dan maju, berani karena jika kita melihat masyarakat Indonesia yang waktu itu masih rendah tingkat pendidikan dan perekonomiannya, budaya masyarakat yang bersifat agraris serta ketidaksiapan dalam menghadapi tantangan global, maka pemerintah tidak memperhitungkan hal itu. 
Pemerintah juga tidak menghiraukan perkembangan pasar dan dunia saat itu, kita ketahui bahwa pasar dan dunia dikuasai oleh kapitalis barat. Era perdagangan bebas sudah dimulai dan untuk pasar mobil, Indonesia telah dikuasai dan menjadi pasar bagi Eropa, Amerika dan Macan Asia. Jepang menguasai pasar mobil di Indonesia dengan Toyota, Daihatsu, Mitsubishi, Nissan dan Izusu-nya. Eropa dengan Opel, Mercedez dan BMW-nya. Korea dengan KIA dan Hyundai-nya dan Amerika dengan Ford-nya. 
Program Mobil Nasional yang diluncurkan, memang membuat kaget dan terpesona semua masyarakat Indonesia dan dunia. Langkah ini adalah kemajuan yang besar bagi Indonesia, namun ternyata tidak semua orang terpesona dan gembira dengan Program mobil nasional, selalu ada saja pihak yang menentang. Para Kapitalis Barat mungkin adalah pihak yang secara simbolis mengacungkan jempol dan memberi selamat atas keberhasilan Indonesia membuat Mobil Nasional. Namun dalam hati dan pikiran mereka, Indonesia merusak semua yang telah mereka bangun dan kuasai. Sebagai kapitalis dunia, Eropa, Amerika dan Macan Asia tidak akan mau dikalahkan oleh Indonesia yang telah lama menjadi pasar mereka. Menempatkan Indonesia sejajar dengan Eropa, Amerika dan Macan Asia, ini adalah mustahil dan melalui berbagai cara tentunya mereka akan melawan Indonesia agar Industri Mobil Nasional ini tidak akan pernah ada. 
Lalu bagaimana prospek mobil nasional di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Adalah satu hal yang tidak bisa dibantah bahwa Indonesia tidak memperhitungkan hal ini. Agaknya Indonesia harus sedikit berhitung ulang mengenai Industri Mobil Nasional tersebut. Berangkat dari latar belakang diatas, saya mengangkat beberapa isu terkait Program mobil nasional dan perkembangan industri otomotif di Indonesia mulai dari Sejarah kelahiran Program Mobil Nasional dan Industri Mobil Nasional di Indonesia, Kebijakan pemerintah dalam mengamankan dan menjalankan Program Mobil Nasional, Resistensi dunia internasional dan para kapitalis terhadap Industri Mobil Nasional Indonesia. 

Timor, Sebuah Mimpi Yang Terwujud 
Perjalanan panjang untuk mewujudkan mobil nasional telah dilalui Indonesia. Sekitar tahun 1993, Indonesia melalui Hutomo Mandala Putra mulai bergerilya untuk menyusun strategi mewujudkan mimpi mobil nasional. Hutomo Mandala Putra adalah bos PT Automotif Lamborghini dan PT Timor Putra Nasional telah melakukan lobi dengan Kia Motor Corporation, Korea Selatan, yang "menjual" model sedannya untuk dijadikan sedan Timor. Dalam lobi ini, Hutomo Mandala Putra tidak sendirian, tapi menggandeng bos PT Indauda, perusahaan yang merakit mobil Holden, Fritz Hendrik Eman. Dalam lobi ini, mereka bersepakat dan menandatangani perjanjian kerjasama, isi perjanjian ketika itu: para penandatangan sepakat untuk membangun pabrik perakitan senilai US$ 400 juta untuk memproduksi mobil Korea buatan Indonesia dengan merk Sephia dan Pride. Lokasinya di kawasan Cikampek, Jawa Barat. Namun, sambil menunggu pabrik yang dijadwalkan selesai dibangun di akhir 1995 itu, perakitan akan dilakukan di pabrik Indauda di Surabaya (TEMPO 5 Juni 1993). 

21 Juli 2011

KELUARGA JAWA DALAM PERUBAHAN JAMAN (Antara Era Tahun 1950an dan Tahun 2007)

Erik Aditia Ismaya 

Keluarga merupakan satuan yang terkecil dalam masyarakat. Keluarga mempunyai peran yang besar dalam membentuk sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia. Keluarga Jawa merupakan bagian dari ribuan bahkan jutaan keluarga yang ada di Indonesia yang turut berperan dalam membangun bangsa ini. Seiring berjalannya waktu dan perubahan jaman, maka dalam keluarga pun terjadi perubahan dalam segala hal tak terkecuali dalam keluarga Jawa. Atas dasar tersebut diatas maka dibawah ini akan disajikan bagaimana perubahan yang terjadi pada keluarga Jawa dari era tahun 1950an dan era tahun 2007 ini.